R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa lengsernya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan pada Agustus 2025 bukanlah sekadar reshuffle kabinet. Keputusan Presiden Prabowo Subianto itu adalah simbol titik balik penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Setelah hampir dua dekade kebijakan fiskal pro-Washington menjadi acuan, kini arah baru sedang dibuka: Indonesia lebih berani membelanjakan uang negara untuk rakyat, menjalin kerja sama dengan poros Timur, dan menegaskan kedaulatan fiskal nasional.
*Titik Balik Ekonomi Nasional.*
Sri Mulyani dikenal sebagai teknokrat yang disiplin menjaga defisit, meningkatkan pajak, dan memberi rasa aman kepada investor Barat. Ia adalah wajah Indonesia di mata IMF dan World Bank. Namun harga yang dibayar rakyat mahal: pajak ketat, ruang belanja terbatas, dan kurangnya fleksibilitas menghadapi guncangan global. Lengsernya beliau bukan karena korupsi atau kegagalan teknis, tetapi karena terlalu patuh pada resep lama yang kaku.
*“Saya menghormati integritas dan kerja keras Sri Mulyani, tetapi mari kita jujur: beliau terlalu lama terikat dengan disiplin IMF dan World Bank. Kebijakan defisit 3% dan tax ratio yang dipaksa naik memang enak dibaca di laporan lembaga rating, tapi rakyat di pasar hanya tahu harga beras, listrik, dan ongkos hidup. Jika rakyat makin terjepit, apa gunanya disiplin itu? Lengsernya beliau adalah simbol berakhirnya dominasi IMF di tubuh ekonomi kita,”* kata Haidar Alwi.
Presiden Prabowo Subianto juga menegaskan arah baru lewat langkah politik internasional. Indonesia resmi menjadi anggota penuh BRICS pada 6 Januari 2025. Prabowo bahkan bertemu langsung Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow. Semua itu adalah pesan bahwa Indonesia tidak lagi puas menjadi “tamu VIP dalam pesta IMF” yang dipuji tapi tetap disuruh mencuci piring.
*Arah Baru dan Peluang Indonesia.*
Data makro Agustus 2025 memperlihatkan alasan kenapa arah baru ini diperlukan. Inflasi terkendali di 2,31%, namun rupiah tertekan di kisaran Rp16.300-Rp16.500 per dolar AS. Pertumbuhan kredit melambat ke 7,03% yoy, tax ratio semester I turun ke 8,42%, sementara defisit diproyeksikan 2,78% PDB. Stabilitas ada, tapi pertumbuhan mandek.
*“Angka-angka ini jangan ditutup-tutupi. Stabilitas boleh ada, tetapi pertumbuhan mandek. Inilah bukti bahwa model lama IMF tidak lagi relevan. Kita perlu sovereign spending yang terukur: berani membelanjakan uang negara untuk pangan, energi, dan industri, tapi tetap disiplin dengan pagar hukum defisit. Tanpa itu, kita hanya jadi penonton di tengah dunia yang berubah cepat,”* jelas Haidar Alwi.
Bergabungnya Indonesia ke BRICS membuka peluang pembiayaan murah lewat New Development Bank (NDB) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Hilirisasi sumber daya alam, nikel, tembaga, bauksit, hingga logam tanah jarang, bisa dipercepat dengan kontrak transfer teknologi. Pasar ekspor lebih luas, ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sistem pembayaran lintas mata uang juga memberi alternatif terhadap dominasi dolar.
*“Kita tidak sedang melompat dari Barat ke Timur tanpa alasan. Kita sedang menegaskan bahwa Indonesia berhak menentukan jalannya sendiri. BRICS memberi jalur baru lewat NDB, swap mata uang lokal, dan pembiayaan infrastruktur produktif. Tapi ingat, kita bukan anti-Barat. Kita pro-Indonesia. Kita tidak keluar dari IMF, tapi kita tidak boleh lagi menjadi anak sekolah yang hanya menyalin catatan Washington. Kita harus menulis bab baru ekonomi kita sendiri,”* tegas Haidar Alwi.
*Risiko, Guardrails, dan Masa Depan Rakyat.*
Peluang ini disertai risiko. Ketergantungan baru pada Tiongkok atau Rusia bisa muncul jika kontrak tidak transparan. Tekanan dari Barat bisa berupa hambatan dagang. Lembaga rating seperti Fitch dan S&P bisa menurunkan outlook jika disiplin fiskal dianggap melemah. Dan yang paling berbahaya, oligarki wajah baru bisa lahir jika proyek strategis hanya dikuasai segelintir elite.
Karena itu, Haidar Alwi menegaskan *enam guardrails:* defisit tetap dijaga di bawah 3% PDB, transparansi proyek lewat open contracting, bauran pembiayaan antara NDB, AIIB, dan domestik, strategi hedging untuk proyek non-USD, kontrak dengan transfer teknologi dan kandungan lokal, serta narasi publik konsisten: kolaborasi tanpa kolonialisasi.
*“Uang rakyat harus suci jalannya. Ia tidak boleh berhenti di kantong elite atau menguap jadi rente politik. Uang rakyat harus meninggalkan jejak: jalan yang dibangun, sekolah yang berdiri, pabrik yang menyerap tenaga kerja, dan sawah yang produktif. Kalau uang rakyat hilang jejaknya, itu tanda gagal. Tapi kalau setiap rupiah memberi manfaat nyata, itu kemenangan. Dan itulah inti kedaulatan ekonomi,”* tegas Haidar Alwi.
Dalam 12–24 bulan ke depan, tiga sektor prioritas harus jadi quick wins: pangan untuk menekan inflasi, energi untuk mengurangi impor, dan industri padat karya untuk menyerap tenaga kerja. Diplomasi ekonomi pun harus dijalankan dengan cerdas: menjaga akses ke pasar Barat sekaligus memperdalam kolaborasi dengan BRICS.
*“Diplomasi bukan soal blok-blokan. Kita bisa bekerja sama dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa, sekaligus memperdalam kerja sama dengan Xi Jinping di Tiongkok, Vladimir Putin di Rusia, Narendra Modi di India, dan Luiz Inácio Lula da Silva di Brasil. Kata kuncinya: siapa pun yang membawa manfaat bagi rakyat, itulah mitra kita. Bebas aktif bukan sekadar jargon, melainkan alat praktis untuk membela kepentingan nasional,”* jelas Haidar Alwi.
Lengsernya Sri Mulyani dan masuknya Indonesia ke BRICS adalah dua sisi dari mata uang yang sama: akhir dari dominasi lama dan awal dari kedaulatan baru. Dari disiplin IMF yang kaku menuju keberanian belanja pro-rakyat. Dari menjaga angka ke menjaga kesejahteraan. Dari sekadar stabil menuju pertumbuhan nyata.
*“Perubahan ini bukan akhir, tapi awal. Awal bagi Indonesia membuktikan bahwa ekonomi bisa tumbuh adil, rakyat bisa merasakan manfaat, dan kedaulatan bisa ditegakkan. IMF hanyalah jalan yang pernah kita lewati, BRICS hanyalah kendaraan yang kini kita naiki. Yang menentukan arah tetap kita sendiri. Jika kita disiplin, transparan, dan berani, maka Indonesia akan berdiri tegak di panggung dunia dengan harga diri. Inilah momen kita, jangan sia-siakan. Dan dalam momentum besar ini, saya ingin menyampaikan selamat kepada Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru, sekaligus doa untuk tim ekonomi nasional di bawah kepemimpinannya. Tantangan mereka tidak ringan: memastikan APBN benar-benar hadir untuk rakyat, menjaga stabilitas sekaligus mempercepat pertumbuhan, dan membuktikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan negara meninggalkan jejak manfaat nyata. Mudah-mudahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia tumbuh menjadi negara yang makmur, rakyatnya sejahtera, dan bangsa ini kembali disegani di pentas dunia, bukan karena retorika, melainkan karena prestasi dan keberanian menegakkan kedaulatan,” pungkas Haidar Alwi.*


