Polemik Ijazah Jokowi: Pengakuan Jokowi Soal Skripsi yang Mengarah pada Terungkapnya Ijazah Palsu

Polemik keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengemuka. Padahal, klarifikasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya sempat dianggap cukup meredam isu ini, meskipun tetap menyisakan perdebatan di tengah masyarakat. Apalagi, dua tokoh penggugatnya, Bambang Tri dan Nur Sugik, telah divonis bersalah dan dipenjara karena dianggap menyebarkan fitnah soal ijazah palsu.

Namun menariknya, bukan pihak luar yang kembali memantik perhatian publik atas keabsahan dokumen tersebut, melainkan ucapan Presiden Jokowi sendiri. Dalam sebuah acara di kampus UGM, Jokowi menyatakan bahwa skripsinya dibimbing oleh seorang dosen bernama Pak Kasmojo. Ucapan ini justru menjadi titik awal baru bagi publik untuk kembali mempertanyakan validitas ijazahnya.

Bacaan Lainnya

Pasalnya, publik menemukan kejanggalan: usia antara Pak Kasmojo dan Jokowi disebut-sebut tidak terpaut jauh, yang dianggap ganjil jika Kasmojo berperan sebagai pembimbing skripsi. Penelusuran pun dilakukan, dan ditemukan bahwa dalam lembar pengesahan skripsi, nama pembimbing justru tertulis sebagai “Soemitro.” Bahkan kemudian, putri dari yang bersangkutan menyatakan bahwa nama sebenarnya adalah “Sumitro”, bukan “Soemitro”, dan tanda tangan yang ada di dokumen juga diragukan keasliannya.

Kisruh ini makin ramai ketika netizen, dengan semangat investigasi digital, menemukan berbagai kejanggalan pada fisik ijazah Jokowi. Mulai dari jenis font yang tidak sesuai era 1980-an, hingga logo kampus, nomor ijazah, hingga stempel yang dinilai tak wajar. Beberapa analisis bahkan menyebutkan bahwa teknologi yang digunakan untuk membuat dokumen tersebut baru eksis jauh setelah tahun yang tertera di ijazah itu sendiri.

Keraguan publik diperkuat oleh pernyataan yang saling bertentangan dari pihak UGM. Di satu sisi, ada klaim bahwa ijazah asli hilang, sementara di sisi lain, pengacara yang ditunjuk menyatakan siap menunjukkannya di pengadilan. Ketidakkonsistenan ini semakin menambah keyakinan bahwa ada yang tidak beres dengan dokumen tersebut.

“Jika skripsi terbukti bermasalah, maka logisnya ijazah pun patut diduga palsu,” ujar seorang pemerhati hukum. “Dan ironisnya, semua petunjuk itu justru dimulai dari pernyataan Presiden sendiri.”

Sejumlah kalangan menilai bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan keraguan publik adalah dengan audit forensik digital secara independen. Nama Roy Suryo pun kembali disebut sebagai figur yang layak mengungkap kebenaran ini, bukan aparat yang sekadar bertugas membungkam kritik.

“Negara ini adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan,” seru seorang pengacara publik. “Rakyat berhak mengetahui kebenaran, terutama karena Jokowi adalah mantan Walikota, Gubernur, dan Presiden. Etika publik menuntut transparansi, bukan penyangkalan.”

Ia juga menambahkan bahwa jika benar ijazah tersebut terbukti palsu melalui jalur hukum, maka seluruh jabatan publik yang pernah diduduki Jokowi harus dibatalkan secara hukum. “Ia bukan hanya tidak layak disebut mantan presiden, melainkan pelaku kejahatan pemalsuan dokumen negara,” tegasnya.

Dalam tuntutan paling ekstrem, sebagian kelompok bahkan menyuarakan bahwa segala bentuk fasilitas negara yang pernah diberikan kepada Jokowi harus disita, termasuk gaji, tunjangan, hingga kewajiban menanggung utang negara yang timbul selama masa pemerintahannya.

Kisah ini belum selesai. Yang jadi pertanyaan kini: akankah negara berani membuka semuanya secara terang-terangan, atau justru memilih membungkus rapat lembaran yang terus digugat oleh publik?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *