Jakarta – Sejak tahun 2017 Pemerintah Jerman melalui Bank Kreditanstalt Für Wiederaufbau (KFW) mendanai Projek Forest Programme III yang bertajuk Sulawesi Collaborative Integrated Management of the Lore Lindu Landscape yaitu sebuah projek Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di wilayah Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah dengan total nilai kerjasama 14.850.000 Euro yang terdiri dari 13,5 juta Euro bersumber dari KFW sendiri dan 10% sisanya yaitu 1.350.000 Euro bersumber dari penyertaan pembiayaaan Pemerintah Indonesia. (19/2023).
Dalam melaksanakan projek ini, Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi di bawah Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) ditunjuk sebagai Badan Pelaksana Proyek / Project Implementing Agency (BPP/PEA) sedangkan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL), Balai Pengelolaan Daerah ALiran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (BPDASRH) Palu-Poso dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Sulawesi ditunjuk sebagai Unit Pelaksana Proyek/Project Implementation Unit (UPP/PIU) adalah semenjak projek tersebut dijalankan, aktifitas monitoring kawasan hutan kerap dilakukan oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) selaku salah satu pelaksana projek (PIU) dengan pemegang alokasi anggaran terbesar ketiga yaitu sebesar 2.472.866 Euro. Tidak hanya melakukan monitoring kawasan, BBTNLL juga melakukan penetapan tapal batas Taman Nasional yang tidak sedikit mencaplok tanah-tanah milik masyarakat setempat.
Akibatnya, lahan garapan milik masyarakat yang berada di lingkar kawasan Taman Nasional semakin menyempit dan bahkan akses masyarakat untuk bisa memanfaatkan sumber daya alam di dalam kawasan hutan seperti sedia kala (baca: sebelum penetapan tapal batas Taman Nasional Lore Lindu) juga semakin terbatas.
Operasi Penangkapan 3 Petani Sigi, diduga Melanggar HAM
Dalam hal pembatasan aktifitas masyarakat lingkar Kawasan Taman Nasional, BBTNLL juga kerap melakukan tindakan intimidasi dan kriminalisasi seperti yang terjadi pada tanggal 11 Desember baru-baru ini dimana 3 orang Petani asal Desa Sidondo I kecamatanSigi Biromaru Kabupaten Sigi atas nama Bapak Farid, Arwin dan Emon di tangkap oleh Tim Operasi Pengamanan Hutan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi bersama dengan Tim Patroli Pengamanan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu dengan tuduhan melakukan aktifitas pertambangan tanpa izin di dalam kawasan Taman Nasional.
Pihak keluarga baru mengetahui bahwa ketiga petani tersebut telah ditahan di Rumah Tahanan kelas II kota Palu melalui surat penahanan yang dilayangkan kepada keluarga dua hari setelah proses penahanan dilakukan. Melalui lampiran surat penahanan tersebut diketahui bahwa proses penyidikan telah rampung dilaksanakan pada tanggal 12 Desember dengan putusan ditetapkanya ketiga orang petani sebagai tersangka yang selanjutnya mendapatkan sanksi penahanan sejak tanggal 13 Desember 2023 hingga 1 Januari 2024. Akibatnya, ketiga petani maupun pihak keluarga sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk meminta haknya untuk mendapatkan pembelaan dan pendampingan hukum.
Selain itu, Dalam proses penangkapan yang disebut sebagai kegiatan Operasi Pengamanan Hutan dalam rilis resmi GAKKUMDU Wilayah Sulawesi dan BBTNLL tertanggal 18 Desember, personel yang terlibat dalam operasi tersebut juga rupanya dipersenjatai dengan senjata organik yang tampak dalam foto yang dilampirkan dalam rilis media tersebut. Hal itu tentunya adalah bagian dari tindakan teror dan intimidasi yang dilakukan GAKKUMDU dan BBTLL terhadap rakyat serta menunjukkan bahwa sejak awal GAKKUMDU pun juga BBTNLL telah mendudukan masyarakat lingkar kawasan Taman Nasional sebagai pelaku tindakan criminal.
Tuduhan yang diberikan oleh BBTNLL dan GAKKKUMDU Wilayah Sulawesi terhadap 3 orang petani yang ditangkap juga sangat berlebihan karena sesungguhnya mereka hanya sedang mengumpulkan batuan material sisa pertambangan yang telah ditutup sejak bulan Mei tahun 2023 lalu. Adapun peralatan seperti 1 buah linggis, 1 buah Martil dan 1 buah alat tibe yang ditemukan oleh GAKUMMDU dan BBTNLL di lokasi penangkapan adalah bukan milik ketiga korban tersebut kecuali sebilah parang yang memang selalu di bawa layaknya petani pada umumnya ketika berpegian ke ladang ataupun hutan serta ¼ karung batuan yang sudah berhasil mereka kumpulkan sebelum penangkapan dilakukan.
Berdasarkan penuturan keluarga dan tetangga, Diketahui bahwa Bapak Farid dan Bapak Arwin sehari-hari bekerja sebagai buruh tani saat musim tanam dan musim panen dan diluar musim tersebut mereka akan menjadi pekerja serabutan.
Bapak Farid dan Bapak Arwin sebenarnya juga memiliki lahan perkebunan yang ditanami berbagai komoditas seperti Kemiri, Vanili maupun kelapa yang juga telah diklaim sebagai kawasan hutan yang hasilnya saat ini tidak lagi produktif, bahkan kemiri sudah tidak lagi berbuah lebat sejak Gempa tahun 2018 yang telah mengakibatkan kekeringan di wilayah aliran DAS Gumbasa yang selanjutnya diperparah oleh berbagai penomena perubahan Iklim seperti Badai Elnino yang mengakibatkan kemarau panjang yang tentunya juga berdampak buruk terhadap pertanian rakyat.
Rusaknya mata pencaharian tersebut diperparah lagi dengan Pandemi Covid 19 yang sangat panjang semakin memperburuk situasi ekonomi sehingga tidak sedikit keluarga tani terjerat hutang pinjaman “Tanggu Renteng” yang harus dibayar mingguan termasuk oleh Bapak Farid dan Bapak Arwin. Untuk itu, Bapak Farid dan Bapak Arwin terpaksa harus bekerja serabutan termasuk mencoba peruntungan dengan mengumpulkan batuan sisa tambang dengan harapan bisa dijual untuk bertahan hidup dan membayar hutang mingguan. Namum mereka ditangkap oleh GAKKUMDU dan BBTNLL dan pekerjana ini baru pertama dilakukan.
Bapak Farid dan Bapak Arwin adalah tulang punggung keluarga yang harus menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Sehingga sontak setelah ditahan, keluarga tak lagi memiliki sumber pendapatan sama sekali karena kehilangan satu-satunya tenaga yang selama ini bekerja untuk mencari nafkah.
Tindakan yang dilakukan BBTNLL tersebut selaku pelaksana Projek yang dibiayai oleh Bank KFW di Sulawesi Tengah tentunya bertentangan dengan prinsif-prinsif Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi oleh Bank KFW dalam melaksanakan projectnya. Dimana Bank KFW berkomitment untuk melindungi dan menghormati hak asasi Manusia Internasional yang berada dalam lingkup pengaruh dan pekerjaanya bahkan hal tersebut masuk dalam persyaratan minimum pembiayaan Bank KFW yaitu mematuhi persyaratan linkungan Hidup, social dan Hak asasi manusia. Bank KFW juga berkomitment untuk menegakan HAM sesuai dengan makna tiga pilar PBB yang meliputi prinsif Perlindungan, penghormatan dan pemulihan.
Oleh sebab itu, kami dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), menuntut :
1. Bank KFW selaku pembiaya project harus mendesak Balai Besar taman Nasional Lore Lindu selaku pelaksana Projek untuk menghentikan semua proses hukum dan membebaskan tiga petani yang ditangkap sebagai upaya menghormati dan menegakkan Hak Asasi Manusia.
2. Bank KFW harus melakukan investigasi dan monitoring langsung atas dampak dari projek yang dijalankan oleh BBTNLL terhadap masyarakat lingkar taman nasional mulai dari dampak kehilangan hak atas tanah dan hak atas akses untuk memanfaatkan hasil hutan
3. Bank KFW harus turut bertanggung jawab atas setiap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh BBTNLL terhadap Hak-hak rakyat lingkar Kawasan Taman Nasional Lore Lindu
Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria
Ketua Umum
Mohammad Ali